PENGARUH PERTUMBUHAN PENDUDUK TERHADAP PERKEMBANGAN SOSIAL DI INDONESIA
Pertumbuhan penduduk Indonesia yang semakin hari menunjukkan,perkembangan yang pesat telah melahirkan berbagai macam persoalan di Negara ini. Perkembangan penduduk di Indonesia menyebabkan banyaknya konflik, dimana inti dari permasalahan itu adalah kuantitas yang terus bertambah yang tidak diikuti oleh sumber daya manusia yang mendukung. Hal ini menyangkut aspek ekonomi politik sosial bahkan budaya. Dari segi aspek sosial, menurut persepsi saya, setelah mendengar dan menyaksikan dari berita, browsing di internet, dan membaca dari surat kabar atau Koran harian, ternyata aspek sosia lah yang paling besar mendapatkan dampak dengan pertumbuhan penduduk Indonesia yang semakin meledak. Hal ini di sebabkan oleh pesatnya pertumbuhan penduduk tanpa di ikuti dengan kualitas dan kuntitas yang di miliki oleh sumber daya manusia. Berikut sebuah pernyataan yang saya baca dari Koran harian seputar Indonesia tentang masalah KB, “dengan klinik kesejahteraan keluarga, pelayanan yang diberikan bukan hanya pelayanan kontrasepsi melainkan juga konsultasi menyangkut seluruh masalah dasar ibu, anak, gizi, dan terutama tentang pentingnya program KB dan dampak ledakan penduduk”. Dari kutipan tersebut kita dapat melihat betapa sesungguhnya dampak dari pertumbuhan penduduk yang semakin luar biasa akan menimbulkan banyak sekali konflik dalam ranah kehidupan sosial, seperti kendala yang dihadapi oleh badan kesejahteraan keluarga berencana (BKKBN) tersebut. Bukan hanya itu saja pengaruh pertumbuhan penduduk terhadap perkembangan sosial juga menyebabkan terjadinya migrasi penduduk. Migrasi adalah perpindahan penduduk dari suatu tempat ke tempat lain dengan melewati batas negara atau batas administrasi dengan tujuan untuk menetap.
1. Piramida Penduduk Komposisi
penduduk menurut umur dan jenis kelamin dapat ditampilkan dalam bentuk grafik yang disebut piramida penduduk.
a. Bentuk-bentuk Piramida Penduduk Bentuk piramida penduduk dibadakan menjadi tiga macam yaitu :
1. Bentuk Limas (Expansive) atau disebut piramida penduduk muda, menunjukkan jumlah penduduk usia muda lebih banyak dari pada usia dewasa maupun tua, sehingga pertumbuhan penduduk sangat tinggi, contohnya: Indonesia, Filipina, Mesir, Nigeria, Brazil.
2. Bentuk Granat (Stationer) atau disebut piramida penduduk stasioner, menunjukkan jumlah usia muda hampir sama dengan usia dewasa, sehingga pertumbuhan penduduk kecil sekali, contohnya: Amerika Serikat, Belanda, Norwegia, Finlandia.
3. Bentuk Batu Nisan (Constructive) atau piramida penduduk tua, menunjukkan jumlah penduduk usia tua lebih besar dari pada usia muda, jumlah penduduk mengalami penurunan, contohnya: negara-negara yang baru dilanda perang. Negara-negara berkembang pada umumnya memiliki piramida penduduk berbentuk limas, sedangkan negara-negara maju umumnya berbentuk granat atau batu nisan.
1. Piramida Penduduk
Komposisi penduduk menurut umur dan jenis kelamin dapat ditampilkan dalam bentuk grafik yang disebut piramida penduduk. Ciri-ciri struktur penduduk pada tiap bentuk piramida :
1. Piramida Penduduk Expansif memiliki ciri-ciri :
• Sebagian besar berada pada kelompok penduduk muda,
• Kelompok usia tua jumlahnya sedikit,
• Tingkat kelahiran bayi tinggi,
• Pertumbuhan penduduk tinggi.
2. Piramida Penduduk Stasioner memiliki ciri-ciri :
• Penduduk pada tiap kelompok umur hampir sama,
• Tingkat kelahiran rendah,
• Tingkat kematian rendah,
• Pertumbuhan penduduk mendekati nol atau lambat.
3. Piramida Penduduk Constructive memiliki ciri-ciri :
• Sebagian besar penduduk berada kelompok usia dewasa atau tua
• Jumlah penduduk usia muda sangat sedikit
• Tingkat kelahiran lebih rendah dibanding dengan tingkat kematian
• Pertumbuhan penduduk terus berkurang
HUBUNGAN ANTARA MASALAH PENDUDUK DENGAN PERKEMBANGAN KEBUDAYAAN
Perkembangan sosial di Indonesia dimulai dengan reformasi yang membawa perubahan terhadap tantanan kehidupan. Reformasi merupakan suatu proses perbaikan dengan melakukan koreksi terhadap unsure-unsur yang rusak, dengan tetap mempertahankan elemen budaya dasar yang masih fungsional, tanpa merubah bentuk masyarakat dan budaya secara total dan mendasar. Transformasi adalah perubahan yang sifatnya lebih cepat, total, mendasar dan menyeluruh. Sedangkan deformasi merupakan kerusakan pada keteraturan sosial tersebut. Perubahan yang cepat tersebut harus mampu mempertahankan “cultural continuity”, dan disini suatu unsur yang amat perlu dipertahankan adalah kesepakatan-kesepakatan nilai (commonality of values) yang pernah dicapai selama lebih dari 60 tahun silam. Akibat gejala sosiologis fundamental, maka terjadi pergeseran-pergeseran yang diantaranya sebagai berikut:
1. Pergeseran Struktur Kekuasan: Otokrasi Menjadi Oligarki Kekuasaan terpusat pada sekelompok kecil elit, sementara sebagian besar rakyat (demos) tetap jauh dari sumber-sumber kekuasaan (wewenang, uang, hukum, informasi dsb.). Krisis dlm representative democracy dan civil society.
2. Kebencian Sosial Yang Tersembunyi (Socio–Cultural Animosity). Pola konflik di Indonesia ternyata bukan hanya terjadi antara pendukung fanatik Orba dengan pendukung Reformasi, tetapi justru meluas antar suku, agama, kelas sosial, kampung dsb. Sifatnyapun bukan vertical antara kelas atas dan bawah tetapi justru lebih sering horizontal, antara rakyat kecil, sehingga konflik yang terjadi bukan konflik yang korektif tetapi destruktif (tidak fungsional tetapi disfungsional). Kita menjadi “self destroying nation”.
• Konflik sosial yang terjadi di Indonesia bukan hanya konflik terbuka (manifest conflict) tetapi lebih berbahaya lagi adalah “hidden atau latent conflict” antara berbagai golongan.
• Cultural animosity adalah suatu kebencian budaya yang bersumber dari perbedaan ciri budaya tetapi juga perbedaan nasib yang diberikan oleh sejarah masa lalu, sehingga terkandung unsur keinginan balas dendam. Konflik tersembunyi ini bersifat laten karena terdapat mekanisme sosialisasi kebencian yang berlangsung dihampir seluruh pranata sosialisasi (agent of socialization) di masyarakat (mulai dari keluarga, sekolah, kampung, tempat ibadah, media massa, organisasi massa, organisasi politik dsb
• Kita belum berhasil menciptakan kesepakatan budaya (civic culture)
• Persoalannya adalah proses integrasi bangsa kita yang kurang mengembangkan kesepakatan nilai secara alamiah dan partisipatif (integrasi normatif), tetapi lebih mengandalkan pendekatan kekuasaan (integrasi koersif)
• Mempertimbangkan persoalan diatas, nampaknya suatu “socio-cultural policy” dan “socio-cultural” planning – yang berdasarkan analisis sosiologis-antropologis yang mendalam dan metode pemecahan masalah yang dipelajari dari berbagai pengalaman bangsa yang lain – amat kita perlukan. Kemiskinan dan ketidak adilan sering ”jatuh bersamaan” dengan identitas sosial tertentu. Karena kebencian sosial yang tersembunyi, maka timbul suatu budaya merebaknya pengangguran. Secara sosiologis, penganggur adalah orang yang tidak memiliki status sosial yang jelas (statusless), sehingga tidak memiliki standar pola perlaku yang pantas atau tidak pantas dilakukan, cenderung mudah melepaskan diri dari tanggungjawab sosial. Dalam kondisi yang ekstrim penganggur tidak peduli terhadap keteraturan sosial, dan bahkan menginginkan terjadinya “kekacauan sosial” (social disorder atau bahkan chaos) agar mendapat keutungan dari ketidak-teraturan itu. Saat ini ada gumpalan massa penganggur yang jumlahnya 9,5 juta (pada th 2003). Mereka banyak dimanfaatkan oleh pelaku politik sebagai alat penekan dan pembenaran aspirasi politik mereka, sehingga demonstrasi saat ini tidak selalu merupakan ekspresi dari aspirasi rakyat yang murni.